Nyobain Kuliner Legendaris Malang Mumpung Lagi Pulang Kampung Ke Malang – Karena ada tanggal merah hari Senin pada tanggal 12 Agustus 2019, maka saya memutuskan untuk pulang kampung sejenak mengunjungi orang tua dan sekaligus pingin mampir nyobain kuliner legendaris Malang. Perjalanan dimulai sore hari Jumat 8 Agustus 2019 dengan menuju stasiun Pasar Senin. Sebagai traveler kere tentu langganan saya adalah kereta Matarmaja, kereta termurah Jakarta-Malang yang model kursinya adu dengkul. Harga tiket kereta ini cuma 110 ribu saja. Sedikit tips jika naik kereta subsidi adu dengkul kursi 3-2 seperti ini, pilihlah kursi 4C atau 21C, karena itu posisi tepat di bagian depan/belakang gerbong, yang mana di depannya tidak terdapat kursi, jadi anda sepanjang jalan bisa selonjoran tanpa khawatir adu dengkul dengan penumpang lain. Tepat pukul 15:15 kereta berangkat dari Stasiun Pasar Senin.
Sekitar pukul 8 pagi hari Sabtu keesokan harinya kereta sudah sampai di Stasiun Malang. Keluar stasiun anda akan melihat taman kota yang rindang, dan di salah satu sudutnya terdapat tugu Panser Anoa pemberian PT Pindad yang dipajang disana.
Selanjutnya saya berjalan kaki menyusuri jalanan kota Malang yang dulu setiap seminggu sekali saya lewati ketika pulkam dari sekolah saya di kota Malang menuju ke rumah di Dampit. Dekat stasiun melewati kampung yang lagi tren yaitu kampung biru yang berposisi di sebelah barat jembatan sungai Brantas, yang sepasang dengan kampung warna-warni yang berada di sebelah timur jembatan.
Tujuan pertama nyobain kuliner legendaris Malang kali ini adalah cari sarapan cwimie. Dan salah satu yang cukup terkenal dan legend adalah kedai Hok Lay yang berada di sekitaran jalan Ahmad Dahlan, tidak terlalu jauh dari alun-alun kota Malang. Salah satu keunikan kedai ini tentu saja bentuknya masih klasik dan seperti bangunan jadul namun itu justru memberikan kesan bahwa kedai ini sudah ada sejak masa lalu dan bisa bertahan karena konsistennya menyajikan hidangan yang enak.
Cwi mie Malang ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mie ayam, bedanya adalah di topingannya, kalau mie ayam biasanya disajikan dengan daging bumbu gelap & kecap dengan irisan yang besar2, kalau cwimie ini disajikan dengan ayam yang dicincang sampai halus dan terlihat berwarna putih atau coklat muda memenuhi bagian atas mie dengan tambahan bawang goreng dan irisan seledri. Satu lagi yang membedakan, pangsit goreng yang disediakan bersama cwimie ini ukurannya besar dan ada isinya didalamnya, sementara kalau mie ayam pangsing yang disajikan biasanya berukuran kecil dan tidak ada isiannya. Satu lagi khas yang ada di kedai ini adalah minuman Fosco, susu coklat bersoda yang disajikan dalam botol coca-cola. Kurang lengkap makan disini kalo tidak sekalian memesan Lumpia nya. Lumpia yang disajikan disini bisa lumpia kering yang digoreng, atau lumpia basah. Saya memesan lumpia kering, disini untuk standar 1 porsinya mendapatkan 2 buah lumpia. Untuk menikmati 3 jenis makanan diatas cukup siapkan uang +/- 60 ribu.
Kenyang setelah sarapan cwimie agenda saya berikutnya ya pulang ke rumah di Dampit yang berjarak kurang lebih sekitar 40km dari kota Malang. Tidak ada agenda lain dari sabtu siang – minggu siang selain menghabiskan waktu bersama orang tua di rumah.
Baru di hari Minggu sore saya kembali ke kota untuk lannjut nyobain kuliner legendaris Malang. Tujuan pertama adalah Toko Oen. Lagi-lagi restoran klasik yang dikunjungi. Alasan saya berkunjung kesini sebenarnya karena lokasinya yang tepat di seberang Gereja Hati Kudus Yesus Paroki Kayutangan, gereja tertua di Keuskupan Malang, karena saya ingin mengikuti misa disana.
Toko Oen sendiri merupakan salah satu toko tua yang masih konsisten berdiri di kota Malang. Toko ini sudah ada sejak 1930. Dan sampai sekarang masih mempertahankan suasana klasik dan jadul di dalam toko. Bahkan tulisan sambutannya yang ada di dalam toko masih menggunakan bahasa Belanda untuk menunjukan suasana klasik toko ini.
Ketika melihat menunya jangan kaget kalau harganya mahal-mahal, karena memang mungkin yang diutamakan disini adalah suasana klasik dan ke originalan sajiannya. Menu utamanya tentu saja es krim, dengan pilihan variasi dan toping. Semakin banyak toping tentu semakin mahal harganya. Selain itu juga ada makanan berat lain seperti nasi goreng, mie, nasi campur dll. Karena saya traveler kere, saya hanya memesan es krim yang paling basic saja, es krim original. Es krim nya sih enak menurut saya, manis dan rasa nya memang khas berbeda dengan es krim2 di tempat lain. 1 porsi es krim gelas kecil disini dihargai 35 ribu, kurang ramah dikantong buat rakyat kecil seperti saya, tapi kalo sekali-kali dicoba gpp lah 😀 .
30 menitan saya nongkrong sejenak di Toko Oen, kemudian beranjak ke Gereja Paroki Kayutangan yang ada di seberang toko untuk beribadah. Tapi saya sedikit memilih jalan memutar untuk sejenak melihat suasana alun-alun kota Malang.
Selesai beribadah saya melanjutkan perjalanan ke daerah Celaket dekat RSUD Syaiful Anwar menuju Puthu Lanang. Jajanan yang dijual disini adalah kue Puthu dan Cenil Lupis Klepon. Sebenarnya jajanan kampung ini banyak di jumpai di pasar tradisional, tapi karena ingin mencoba di tempat yang katanya legend makanya saya menyempatkan untuk nyoba yang disini. Berdasarkan informasi yang dipasang di tembok, puthu lanang ini sudah berjualan sejak tahun 1935.
Suasana Puthu Lanang & Proses Pembuatan Kue Puthu
Puthu adalah kue tradisional yang terbuat dari tepung beras yang didalamnya terdapat isian gula kelapa, dan disajikan dengan taburan paarutan kelapa. Cara pembuatannya cukup unik karena adonan tadi dimasukkan di dalam cetakan bambu kecil, untuk dipanaskan dengan uap udara yang keluar dari rebusan air dibawahnya. Sedangkan cenil, lupis, klepon ini jajanan pasar yang biasanya sudah 1 paket, yang biasa dihidangkan dalam bungkusan daun pisang dengan disiram parutan kelapa dan cairan gula merah. Lupis biasanya dibuat dari beras ketan yang berbentuk seperti lontong dan penyajiannya juga di potong2, sementara cenil yang terbuat dari tepung ini biasanya dibentuk lonjong kecil dan berwarna-warni, kalau klepon jajanan berbahan tepung dan didalamnya ada isian gula merah. Untuk menikmati semua sajian diatas anda perlu menyiapkan uang +/- 15 ribuan.
Selesai menikmati jajanan diatas, saya sebenarnya ingin menikmati Sego Goreng Resek yang ada di Jl. Brigjen Katamso, namun karena pas kesana ternyata warungnya tutup, akhirnya saya mengalihkan tujuan menuju warung soto ayam yang cukup legend di Malang, yaitu Soto Ayam Lombok, yang ada di Jl. Lombok sekitaran Klojen. Warung ini konon sudah buka sejak tahun 1955. Salah satu ciri khas tempat makan ini adalah gerobak soto yang masih model pikul diletakkan di tengah2 restoran.
Soto ayam yang disajikan kurang lebih sama seperti soto pada umumnya di Jawa Timur. Yang sedikit membedakan adalah kalo di soto Jawa Timuran yang lain biasanya ditambahkan bumbu koya yang berwarna oranye cerah dan memberikan rasa sedikit asin, kalau di Soto Lombok ini tambahannya berupa bumbu berwarna coklat gelap yang lebih mirip serundeng kelapa, dengan rasa yang tidak terlalu asin dan lebih berasa rempah-rempahnya. Untuk rasa sotonya menurut saya enak, dan cukup cocok di lidah. Hanya saja harganya relatif mahal untuk ukuran soto di daerah Malang, sekitar 45ribuan untuk 1 porsi soto, kerupuk & teh.
Selesai makan soto karena khawatir kemalaman sampai rumah yang berjarak 40 km dari kota saya segera pulang. Sebelum sampai rumah saya sejenak berhenti di Pasar Lama Dampit untuk menikmati angsle langganan alm Bapak. Dulu sewaktu beliau masih ada setiap saya pulang kampung sering sekali diajak mampir oleh beliau menikmati semangkok angle disini.
Anglse ini merupakan minuman khas Jawa Timur yang sekilas mirip kolak. Berupa kuah manis bersantan yang didalamnya berisi roti, ketan, kacang hijau, petulo & mutiara. Disajikan dalam kondisi hangat, sehingga sangat cocok disantap pada malam hari di tengah dinginnya suasana kecamatan Dampit. Harganya murah meriah cuma 5 ribu saja. Selesai menyantap angsle barulah saya pulang ke rumah.
Senin sore saatnya untuk kembali ke kota Malang menuju stasiun untuk kembali lagi ke Jakarta. Kurang lengkap rasanya ke Malang kalau gak makan bakso, maka dari itu sebelum masuk stasiun saya mampir dulu ke warung Bakso Cak Toha, yang posisinya memang berada dekat di stasiun.
Bakso disini dihargai per item ya. Item yang di sediakan disini cukup lengkap, ada pentol halus, pentol goreng, pangsit basah, pangsit kering, pentol goreng, tahu kering, tahu basah, dll. 1 item seharga 2000 – 5000an. Seperti biasa saya memilih item yang bervariasi agar bisa menikmati semua jenis item dengan harga murah 😀 . 1 porsi yang saya beli ini seharga 15 ribu, cukup murah untuk ukuran bakso yang berlokasi di stasiun ya, karena biasanya toko di stasiun harganya dipentok mahal2.
Setelah masuk stasiun, sambil menunggu berangkat, seperti biasa saya menuju spot favorit waktu ke stasiun Malang yaitu di ujung depan stasiun untuk mengabadikan foto kereta yang berjejer berhenti di stasiun.
Kembali saya memilih kereta Matarmaja yang murah untuk kembali ke Jakarta. Tepat pukul 17:30 kereta berangkat dari stasiun Malang, dan tiba lagi di Jakarta sekitar pukul 10 pagi.